Sunday, April 29, 2007

Malangnya Pedagang Kecil di Wilayah Banyumas-26 Maret 2007

Jauh sebelum istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) dikumandangkan, masyarakat sudah terbiasa untuk berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menopang hidupnya dan keluarganya. Mereka bisa ditemui di pedesaan dalam bentuk buruh tani. Atau di perkotaan dalam bentuk kuli pekerja kasar. Atau bahkan dalam bentuknya yang lebih maju adalah pedagang kaki lima.
Mencari penghidupan dengan berdagang merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak ditekuni oleh masyarakat di wilayah karesidenan Banyumas
Pedagang baik yang berdagang di pasar, di trotoar atau badan jalan (PKL) ataupun pedagang warungan tentunya membutuhkan modal. Modal seorang pedagang secara gampangnya di atas kertas biasanya terdiri dari barang dagangan dan alat untuk membawa, menyajikan ataupun menjajakan dagangannya. Itu tentunya baru modal bersih. Namun berdagang di wilayah Banyumas harus mempunyai modal lebih besar.
Lihat saja aturan retribusi yang sanga tidak jelas dan berbeda atara satu dan lainnya. Para pedagang senantiasa dibodohi dengan harus membayar dari puluhan ribu hingga ratusan ribu kepada oknum yang tidak jelas untuk apa. Hal ini berlaku baik bagi para pedagang di pasar maupun pedagang kaki lima yang selalu dianggap ilegal. Pasar sebagai tempat mencari penghidupan mereka dibiarkan berantakan dan rusak sehingga membuat para pedagag tidak nyaman berjualan. Padahal parapedagang pasar ini harus membayar ketidaknyamanan ini dengan retribusi dan sewa pasar setiap harinya.
Para pedagang ini baik pedagang pasar dan pedagang kaki lima, ribuan jumlahnya. Supplier maupun costumer mereka tentu bukanlah perusahaan raksasa, melainkan sesama orang-orang kecil. Jika dihitung lagi dengan banyaknya warung-warung dan toko-toko kecil, baik yang menjual makanan ataupun barang kelontong, dan dihitung dengan orang-orang yang tergantung kepadanya, bisa menjadi puluhan juta. Merekalah, yang secara de facto menyokong kehidupan sejumlah besar masyarakat Banyumas, dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga.
Namun pemerintah senantiasa melihat sebelah mata pada kegiatan berdagang. Para pedagang kecil selalu diperlakukan lebih rendah dibandingkan para pedagang besar yang mendirikan ritel atau pusat perbelanjaan. Seyogyanya pemerintah bisa lebih memperhatikan para ‘penyokong’ ekonomi ini dengan antara lain mengevaluasi secara radikal mekanisme perencanaan dan pemberian izin kepada para pelaku ekonomi kecil. Sebuah kota seharusnyalah memiliki tempat-tempat khusus di mana pedagang kaki lima dan pedagang kecil bisa melakukan usaha, sama persis dengan bagaimana tempat untuk mall dan pasar swalayan serta layanan retail diberikan oleh pemerintah.

No comments: