Sunday, April 29, 2007

Manusia dan Air - 23 April 2007


22 April kemarin merupakan peringatan hari bumi internasional. Penjarahan hutan, krisis air bersih dan lain-lain merupakan berita persoalan lingkungan yang kerap muncul di wilayah Banyumas. Meskipun wilayah Banyumas berada di kaki gunung Slamet namun krisis air juga menjadi permasalahan yang tak juga terselesaikan, terutama ketika datang musim kemarau. Padahall air sebagai sumber daya yang muncul dari bumi kita merupakan benda yang sebenarnya bisa direproduksi bila kita mengelola bumi dengan baik. Air merupakan sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan ada yang mengatakan bahwa air merupakan sumber kehidupan. Manusia, baik anak-anak maupun dewasa, kaya ataupun miskin, di kota maupun desa membutuhkan air untuk kehidupan sehari-hari-nya. Kebutuhan akan air pun tampak nyata di kalangan petani dimana mereka amat membutuhkan air untuk pengairan sawahnya. Untuk administrasi pembagian air di areal persawahan dikenal sistem irigasi agar pembagian air bisa merata ke seluruh areal persawahan yang tergantung pada air irigasi. Sementara untuk masyarakat perkotaan, ada perusahaan air minum yang menjadi pengelola sekaligus administrator distribusi air berish yang dipakai untuk kehidupan sehari-hari masyarakat.
Air sebagai 'public goods' menjadikan pengelolaan atasnya menuntut manajemen keadilan. Bagaimana petani masih bisa mendapatkan air untuk sawah dan kebutuhan sehari-hari dan bagaimana masyarakat perkotaan sebagai konsumen air juga bisa mendapatkan air yang layak pakai. Jelas pengelolaan atas air sebagai barang publik menjadi tanggung jawab negara-pemerintah dan seharusnya tidak bisa diserahkan ke swasta. Dalam hal keadilan air, pemerintah harus segera meninjau kembali tanpa harus merasa kalah, Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang memberi peluang hak guna air kepada swasta yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Meskipun dalam kenyataannya saat ini di Indonesia sudah banyak sumber mata air yang dikuasai oleh perusahaan air minum kemasan.
Perlu dan harus kita sadari bahwa pilihan menyerahkan sumber daya yang terbatas kepada pemodal yang tidak kenal batas, adalah awal dari bencana yang mungkin tidak lama lagi akan dirasakan oleh semua orang, di kota maupun desa, kaya maupun miskin. Air adalah sumber daya yang terbatas, oleh karenanya pengelolaannya pun harus diatur seadil-adilnya agar tidak ada pihak yang dirugikan. Air yang bersih pun akan kita dapat bila kita memberi perhatian lebih pada pengelolaan lingkungan. Penanaman hutan kembali dan menindak para penjarah-penjarah hutan skala besar menjadi tanggung jawab pemerintah untuk bisa menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga ketersediaan sumber daya air.

Menyongsong Ujian Akhir Nasional - 16 April 2007

Minggu ini merupakan hari-hari mendebarkan bagi banyak kalangan pelajar yang duduk di tingkat akhir. Pasalnya, pada minggu ini UAN (ujian akhir nasional) akan dilaksanakan secara serempak secara nasional. Meksipun pada awal permberlakuannya UAN banyak menuai kontroversi di kalangan pemerhati pendidikan, toh kebijakan ini terus berjalan. Pelaksanaan ujian nasional dengan mutu dan standar yang sama merupakan parameter adanya pemerataan pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan antar daerah yang tidak sama merupakan salah satu hal yang menjadikan banyak pihak keberatan akan keberlangsungan UAN. Namun pendapat lainnya menyatakan bahwa pemberlakuan UAN justru akan menjadi pemicu agar terjadi pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah. Jelas, pemerataan pendidikan mempunyai prasyarat akses yang merata bagi semua orang. Namun mahalnya pendidikan membuat si miskin tidak bisa menikmati institusi pendidikan secara layak. Terlepas dari angka kelulusan yang diinginkan dari UAN, yang lebih penting adalah kualitas dari pendidikan yang telah diberikan sekolah. UAN bukanlah segala-galanya. Karena lulusnya seseorang dari tingkat pendidikan tertentu, selain mempunyai kemampuan intelektual tertentu juga ada konsekuensi sikap dan moral yang harus dimiliki sang anak didik. Siapapun tidak ada yang rela bila mempunyai penerus bangsa yang pintar namun tidak mempunyai sikap dan moral yang baik. Kualitas pendidikan bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah, karena siswa juga mempunyai keluarga. Hal ini sering dilupakan para orangtua bahwa peran mereka juga sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas sang anak. .

Isu dan Masyarakat - 14 April 2007


Maraknya isu tentang adanya baku tembak di kediaman Mayangsari cukup menggegerkan warga Banyumas. Dikarenakan isu yang beredar juga, kejadian tersebut berlangsung di kediaman artis tersebut di Purwokerto. Yah..sorotan akan kehidupan artis seakan-akan menjadi oase tersendiri di tengah berita 'real' akan himpitan ekonomi yang terus menghimpit. Di tengah naiknya harga telur dan harga ayam, di tengah hiruk pikuk Pilkada dan Pilkades dan lain-lain, berita akan Mayangsari menjadi selingan yang mungkin sedikit memecah perhatian warga Banyumas. Mendengar isu,boleh-boleh saja. Namun mempercayai isu tentunya tidak bisa dilakukan. Karena isu sendiri adalah berita yang tidak jelas kebenarannya. Selama ini isu tentang selebritis 'mungkin' dianggap tidak membahayakan bagi masyarakat luas. Lain halnya bila yang beredar adalah isu politik ataupun ekonomi. Responsifnya masyarakat untuk mempercayai isu yang beredar harus dilihat sebagai penyakit sosial. Dalam isu-isu politik atau ekonomi,beradarnya isu akan mengakibatkan tindakan massal dari masyarakat ataupun kelompok masyarakat. Isu kecurangan pilkada akan membuat kelompok masyarakat yang kalah akan berang. Isu naiknya harga BBM membuat orang ramai-ramai membeli BBM. Akibat-akibat dari tindakan-tindakan massal ini tentunya akan merubah kondusivitas masyarakat. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa isu adalah santapan masyarakat bawah, namun dalam realitasnya isu apapun bentuknya, selalu laris di kalangan bawah ataupun atas. Untuk mencegah isu-isu yang tidak kondusif bagi masyarakat, sangat penting perilaku dan komunikasi politik dari para tokoh masyarakat untuk tidakmenciptakan isu yang mengangggu kondisi yang sudah kondusif. Dalam hal ini, diharapkan para tokoh masyarakat, yang bisa memancing opini publik, bisa berprilaku jujur, jangan hanya menyatakan kepentingannya.

Banyumas yang Kaya Budaya-9 April 2007

Akhir minggu kemarin, Purwokerto sarat dengan kegiatan budaya. Semua acara tersebut dipadati oleh ribuan bahkan mungkin hingga ratusan ribu orang. Hari jadi Banyumas sendiri pun dilaksanakan dengan kegiatan padat budaya dengan mengadakan iring-iringan kirab hari jadi Banyumas yang begitu mengesankan. Ribuan orang memadati jalur yang dilewati oleh peserta kirab. Antuasiasme warga Purwokerto dan sekitarnya sungguh memberikan makna bahwa mereka sangat mencintai kotanya. Selain itu kesan pluralitas dan kebersamaan terlihat juga dalam acara itu. Seluruh elemen masyarakat mulai pejabat hingga pedagang kaki lima mendapat tempat dalam kirab itu.
Yah, usia Banyumas memang sudah uzur (425 tahun). Ciri khas sebagai daerah yang berbudaya sangat melekat erat pada Banyumas. Ribuan warga Banyumas yang larut dalam kegiatan budaya ini menunjukkan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi pada kegiatan kebudayaan. Entah apapun motifnya,namun kegiatan budaya selalu diminati oleh sebagian besar warga Banyumas. Apresiasi ini sangat menggembirakan mengingat kegiatan budaya berpotensi sebagai alat dalam pendidikan dan alat untuk menjamin kualitas hidup masyarakatnya.
Di sisi lain, arus budaya modern dan gaya kota besar juga membanjiri Banyumas. Mulai dari gaya pakaian, musik hingga bahasa pun menghinggapi kalangan muda Banyumas. Yah, Banyumas memang unik. Di sinilah terjadi berbagai pertemuan budaya. dan hal tersebut haruslah dihargai sebagai penghormatan akan pluralitas selama tidak saling menganggu satu sama lain. Yang lebij disayangkan lagi, Banyumas belum memiliki tempat dimana kegiatan kebudayaan ini bisa dipentaskan. Arena budaya ini bisa menjadi ajang berkiprahnya para budayawan dan seniman Banyumas untuk mementaskan karya-karyanya. Minimnya arenabudaya ini membuat aktivitas kebudayaan Banyumas hanya muncul pada momen-monen tertentu saja. Tentu saja, perhatian akan tempat untuk aktivitas budaya ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk lebih mengembangkan budaya daerah.
Sebagai kota yang kaya akan budaya, Banyumas bisa dikembangkan sebagai kota wisata budaya. Dalam usianya sekarang ini dan perkembangan potensi daerah ke depan, Banyumas sudah seharusnyalah mampu menempatkan dirinya sebagai kawasan tumbuh dan berkembangnya berbagai kesenian khas Banyumas seperti Calung Banyumasan, Pedalangan Gagrak Banyumasan, Ronggeng, Begalan, Cowongan bahkan Musik Kenthongan dan Calung, salawatan, lengger, angguk dan mungkin masih banyak lagi. Bukankah budaya menunjukkan identitas diri?

Malangnya Pedagang Kecil di Wilayah Banyumas-26 Maret 2007

Jauh sebelum istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) dikumandangkan, masyarakat sudah terbiasa untuk berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menopang hidupnya dan keluarganya. Mereka bisa ditemui di pedesaan dalam bentuk buruh tani. Atau di perkotaan dalam bentuk kuli pekerja kasar. Atau bahkan dalam bentuknya yang lebih maju adalah pedagang kaki lima.
Mencari penghidupan dengan berdagang merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak ditekuni oleh masyarakat di wilayah karesidenan Banyumas
Pedagang baik yang berdagang di pasar, di trotoar atau badan jalan (PKL) ataupun pedagang warungan tentunya membutuhkan modal. Modal seorang pedagang secara gampangnya di atas kertas biasanya terdiri dari barang dagangan dan alat untuk membawa, menyajikan ataupun menjajakan dagangannya. Itu tentunya baru modal bersih. Namun berdagang di wilayah Banyumas harus mempunyai modal lebih besar.
Lihat saja aturan retribusi yang sanga tidak jelas dan berbeda atara satu dan lainnya. Para pedagang senantiasa dibodohi dengan harus membayar dari puluhan ribu hingga ratusan ribu kepada oknum yang tidak jelas untuk apa. Hal ini berlaku baik bagi para pedagang di pasar maupun pedagang kaki lima yang selalu dianggap ilegal. Pasar sebagai tempat mencari penghidupan mereka dibiarkan berantakan dan rusak sehingga membuat para pedagag tidak nyaman berjualan. Padahal parapedagang pasar ini harus membayar ketidaknyamanan ini dengan retribusi dan sewa pasar setiap harinya.
Para pedagang ini baik pedagang pasar dan pedagang kaki lima, ribuan jumlahnya. Supplier maupun costumer mereka tentu bukanlah perusahaan raksasa, melainkan sesama orang-orang kecil. Jika dihitung lagi dengan banyaknya warung-warung dan toko-toko kecil, baik yang menjual makanan ataupun barang kelontong, dan dihitung dengan orang-orang yang tergantung kepadanya, bisa menjadi puluhan juta. Merekalah, yang secara de facto menyokong kehidupan sejumlah besar masyarakat Banyumas, dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga.
Namun pemerintah senantiasa melihat sebelah mata pada kegiatan berdagang. Para pedagang kecil selalu diperlakukan lebih rendah dibandingkan para pedagang besar yang mendirikan ritel atau pusat perbelanjaan. Seyogyanya pemerintah bisa lebih memperhatikan para ‘penyokong’ ekonomi ini dengan antara lain mengevaluasi secara radikal mekanisme perencanaan dan pemberian izin kepada para pelaku ekonomi kecil. Sebuah kota seharusnyalah memiliki tempat-tempat khusus di mana pedagang kaki lima dan pedagang kecil bisa melakukan usaha, sama persis dengan bagaimana tempat untuk mall dan pasar swalayan serta layanan retail diberikan oleh pemerintah.