Sunday, July 1, 2007

Koalisi Demi Rakyat - 25 Juni 2007

Dunia politik sedang heboh. Di tengah gemuruh hajat pilkada di beberapa daerah, berhembus kabar dari Medan. Yah, dikabarkan dua partai besar yakni Golkar dan PDIP tengah menjajaki kemungkinan untuk berkoalisi. Meskipun dikabarkan koalisi ini untuk menyongsong momen di 2009 namun tak ayal, hembusan kabar ini membuat konstelasi politik di daerah juga mengalami perubahan. Semua bertanya-tanya bagaimana koalisi yang akan dibangun. Apakah sekedar bagi-bagi kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan? Beberapa kekuatan politik di daerah yang sedang menyongsong Pilkada pun mulai gamang dan bertanya-tanya. Bagaimana dampak 'kabar Medan' ini harus mereka sikapi, dan bagaimana mekanisme membangun koalisi ini di tingkat lokal mengingat selama ini dua partai besar ini tengah getol bersaing memperebutkan kursi kepala daerah di beberapa kabupaten.Terlepas dari beragam dugaan akan koalisi tersebut, koalisi bukanlah hal yang membingungkan. Sebab bukankah dalam politik, tidak ada musuh ataupun teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Tentunya rakyat berharap kepentingan koalisi ini tidak hanya bagi-bagi kekuasaan ataupun 'kue pembangunan'. Tentunya rakyat juga amat sangat berharap bila koalisi politik tersebut dibarengi dengan sinergi untuk kesejahteraan rakyat demi mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja. Semoga sinergisme dalam mewujudkan kepentingan inilah yang sedang dilakukan oleh dua partai besar ini.

Kelulusan Semu- 18 Juni 2007

Hasil kelulusan tingkat SMU/SMK/MA sudah diumumkan akhir minggu kemarin. Ada yang senang ada yang sedih. Ada yang sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan sekolah namun ada pula yang sedang dilanda kebingungan apa yang harus diperbuatnya pasca lulus.Yah, tingginya angka kelulusan biasanya akan diiringi dengan tingginya angka pengangguran yang meningkat.Tidak siapnya sistem pendidikan kita untuk mencetak manusia yang siap pakai membuat angka pengangguran selalu meningkat seiring dengan banyaknya siswa SMA yang lulus. Hal ini mungkin bisa dikecualikan untuk SMK dimana lulusan SMK memang dipersiapkan untuk bisa langsung bekerja ataupun berwiraswasta. Namun bagi lulusan SMA atau sekolah umum, hanya sebagian kecil dari mereka yang mungkin berkesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi tinggi dikarenakan mahalnya biaya pendidikan tinggi.Euforia kelulusan tahun ini mungkin harus dipandang ambigu. Di satu sisi membuktikan bahwa UN yang selama ini ditakuti tokh akhirnya bisa dilewati oleh mayoritas siswa SMA. Namun di sisi lain, karena sistem kelulusan hanya bertumpu pada UN, karenanya tidak membuat siswa bisa berkualitas dan siap bekerja setelah lulus. ke depan, kalau kelulusan peserta didik SMA/MA/SMK tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian peserta didik, maka tetap pengangguran dimana-mana, dan kalau peserta didik hanya diberi daftar lowongan pekerjaan, maka bangsa ini nungkin hanya akan selalu menjadi bangsa yang tertinggal.

Teroris yang Menggemparkan- 11 Juni 2007


Penemuan keberadaan teroris di wilayah Banyumas cukup menggemparkan warga. Apalagi di saat bersamaan tengah digelar hiruk pikuk Pilkades di sebagian besar wilayah Banyumas ini. Di tengah keramaian demokrasi lokal, warga dikejutkan dengan adanya salah satu warga yang diduga anggota teroris.Banyumas merupakan wilayah yang cukup ramai dengan pendatang Arus pendatang/migran yang masuk dari berbagai wilayah di Indonesia merupakan hal yang wajar pada sebuah daerah dengan perkembangan ekonomi seperti Banyumas. Adanya universitas negeri dan berkembangnya perekonomian di wilayah ini menyebabkan maraknya pendatang memasuki wilayah ini untuk bertempat tinggal ataupun mengadu nasib. Pergerakan manusia yang sangat cepat inilah yang kurang diantisipasi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah lokal. Apalagi di tengah budaya individualisme saat ini dimana banyak warga yang tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Masyarakat pun sebenarnya mempunyai peran dan tanggung jawab akan hal ini, dimana dalam lingkup kecil seperti RT [Rukun Tetangga] seharusnya administrasi keluar masuk warga yang bertempat tinggal bisa terdata dengan baik. Namun hal ini pun kadangkala luput mengingat rutinitas warga dalam kesehariannya. Administrasi kependudukan seringkali dianggap sebagai hal yang mudah namun senantiasa dipersulit. Banyak warga masyarakat yang enggan mendaftarkan dirinya sebagai pendatang mengingat berliku-likunya proses yang disyaratkan dalam pencatatan admininistratif tersebut. Padahal masalah administrasi kependudukan bukanlah menjadi tanggungjawab atau kebutuhan warga sematan namun mutlak menajdi kebutuhan dari pemerintah lokal setempat. Sehingga, aksi proaktif dari pemerintah lokal amat diperlukan agar memudahkan warga mengurus administrasi kependudukannya. Penanganan terorisme maupun menangkap pelaku terorisme memang mempersyaratkan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat dan pihak keamanan atau kepolisian. Eksistensi satuan lawan terorisme seperti Densus 88 tidak akan ada artinya bila tidak ada peran dari citizen soldier karena peran citizen soldier merupakan tulang punggung di dalam aksi untuk memperkecil ruang gerak teroris. Kegagalan berulang kali yang dialami Polri untuk menangkap pelaku teroris selama dua tahun terakhir merupakan bukti yang tak bisa dipungkiri bahwa upaya penanganan terorisme bukan wilayah mutlak dan tunggal dari Polri saja.

Tertib Berlalu Lintas, Tertib Pelayanan - 9 Juni 2007

Beberapa hari ini terlihat banyak spanduk dan baliho himbauan tertib berlalu lintas di jalan-jalan di kota Purwoketo. Mulai dari himbauan penggunaan helm standar, penggunaan lampu spion lengkap hingga himbauan menyalakan lampu di siang hari.Dikatakan himbauan-himbauan itu semata-mata ditujukan untuk keselamatan para pengendara dan pemakai jalan lainnya.Namun yang perlu diperbaiki lebih awal adalah bagaimana perilaku berlalu lintas para pemakai jalan. Untuk bisa berlalu-lalang di jalan, para pengendara diwajibkan memiliki SIM sebagai identitas pengendara yang merupakan surat izin mengemudi baik bagi kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat. Dalam razia kendaraan bermotor pun selalu ada dua hal yang ditanyakan petugas, yakni SIM dan STNK. Jelas STNK menjadi tanda pengenal kendaraan untuk menghindari tindak pencurian kendaraan bermotor. SIM tentunya juga merupakan tanda pengenal dari si pengendara bahwa ia layak berkendaraan dan mengerti tata tertib berlalu lintas. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa SIM seakan telah menjadi bisnis tersendiri. Dimana pembuatan SIM terbagi dua, ada yang jalur cepat dan ada jalur reguler. Jalur cepat tentunya membutuhkan biaya yang besar namun tidak mensyaratkan tes tertulis maupun tes praktek. Sementara jalur reguler harus ditempuh dengan waktu yang panjang dan kadangkala harus mengalami ketidaklulusan. Banyaknya para pemohon SIM yang melalui jalur cepat ini dianggap sebagai cara lebih efektif dan praktis, sehingga tidak membuang waktu. Namun tentu saja kualitas berkendaraan para pemohon SIM jalur cepat ini dipertanyakan, karena biasanya mereka tidak melalui tes-tes yang disyaratkan dalam membuat SIM. Namun tidak bisa dipungkiri pula adanya warga masyarakat yang tertib berlalu linats meskipun membuat SIM dengan jalur cepat. Memang semuanya amat tergantung pada kesadaran manusianya. Begitu pula dengan banyaknya rambu lalulintas yang dipasang, Sebanyak apapun rambu dipasang bila pengendara tidak memperhatikan keselamatan di jalan maupun keselamatan pemakai jalan lainnya tentu juga tidak akan berarti. Oleh karenanya sudah sewajarnya bila keinginan aparat agar para pengendara tertib berlalu lintas haruslah disertai juga dengan tertibnya pelayanan yang diberikan pihak kepolisian dalam memberikan SIM (Surat Izin Mengemudi). Jadi baik pemakai jalan maupun polisi lalulintas, sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap keselamatan berkendara di jalan raya.

Minyak Goreng Stabil hanya Tinggal Janji - 5 Juni 2007

Awal Juni ini, sesuai janji dari Menteri perdagangan Mari Pangestu, seharusnya menjadi tenggat pemerintah untuk bisa menstabilkan harga minyak goreng di pasaran. Namun hingga minggu pertama Juni ini, janji pemerintah untuk bisa mengendalikan laju harga minyak goreng pupus sudah. Meskipun di beberapa wilayah sudah dilakukan OP (operasi pasar), namun tetap tak bisa membendung naiknya harga minyak goreng dari hari ke hari. Para pedagang kecil yang tadinya masih menunggu turunnya harga minyak, kini tidak mampu lagi menanggung kerugian akibat kenaikan harga minyak goreng dan bahan baku lainnya yang semakin melonjak. Mulai pedagang gorengan skala kecil hingga pedagang skala menengah seperti toko getuk dan toko mendoan, secara perlahan kini mulai menaikkan harga. Sementara pedagang kerupuk mulai mengecilkan produknya agar bisa menutup biaya produksi.Bila pada awal kenaikan harga ini, pemerintah ribut membahas mengapa harga minyak goreng merambat naik. Saat ini kenaikan harga sepertinya sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Masyarakat dipaksa untuk menerima kenaikan harga ini tanpa memperoleh penjelasan yang memadai kenapa harga terus saja naik. Alasan yang selalu dikemukakan hingga ke lapisan bawah adalah adanya kenaikan harga CPO dan maraknya ekspor CPO ke luar negeri.Tentunya hal-hal ini harus bisa diatasi oleh pemerintah agar tidak ada lagi eksportir nakal yang menyunat kebutuhan dalam negeri. Jelas, adanya kenaikan harga minyak goreng ini semakin memberatkan masyarakat. Mengingat komoditi ini sangat dibutuhkan masyarakat untuk mengolah makanan sehari-hari terutama bagi pengusaha yang produknya harus digoreng dan juga para ibu rumah tangga. Ditambah lagi saat ini beberapa harga kebutuhan seperti tepung terigu juga ikut naik. Janji tinggallah janji. Nyatanya di pasar, harga minyak goreng terus merambat naik dan masyarakat terpaksa menerima kenaikan itu. Entah cara apa lagi yang bisa dilakukan untuk menahan laju harga minyak goreng, Bila operasi pasar dianggap tidak cukup efektif untuk menstabilkan harga, harus ada alternatif upaya lain yang harus sesegera mungkin dilakukan, agar penderitaan rakyat tidak semakin berat.

Cuti Bersama- 4 Juni 2007

Hari Senin ini merupakan hari kerja pertama di bulan Juni setelah akhir minggu kemarin, sebagian besar para pekerja dan PNS menikmati long weekend. Tentunya bagi PNS, hari ini akan ramai memadati kantor. Karena selain habis libur panjang, hari ini mungkin juga akan menjadi hari gajian di beberapa instansi. Beberapa hari libur nasional tahun ini yang jatuh pada hari Jumat yang kemudian berekses pada adanya cuti bersama bagi pegawai memang menjadi polemik tersendiri. Dikarenakan hal ini berbuntut pada tertundanya beberapa pelayanan masyarakat. Banyak warga yang dibuat kecele dengan adanya cuti bersama. Pihak Pemkab menilai cuti bersama ini diadakan agar kealpaan kerja pada hari 'kejepit' bisa diminimalisir, sehingga lebih baik sekalian diliburkan. Sebagai gantinya warga akan mendapatkan tambahan pelayanan 1 jam pada hari-hari sesudahnya untuk mengganti waktu satu hari yang diliburkan. Bagi instansi/kantor yang menerapkan hari Sabtu libur, tentunya 'long weekend' merupakan sesuatu yang biasa. Namun bagi instansi yang pada hari Sabtu merupakan hari efektif kerja, kebijakan 'long weekend' jadi merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Dulu, pernah ada satu alasan kenapa beberapa hari libur di'panjangkan'. Alasan tersebut adalah untuk meningkatkan pariwisata domestik. Apakah bila alasan ini dikemukakan akan berlaku di Banyumas? Selain berbagi alasan yang ada, keefektifan dari cuti bersama mungkin memang perlu dikaji. Sudah selayaknya, instansi pemerintah perlu meninjau ulang keefektifan dari libur bersama ini. Apakah memang meningkatkan kinerja pegawai atau justru melemahkannya. Bila memang cuti bersama ini dinilai efektif, pemerintah harus bisa mengemukakan apa kriteria efektif yang dimaksud. Dan apabila keberadaan cuti bersama ini malahan melemahkan kinerja, harus ada pengakuan jujur dari pemerintah untuk meminta maaf atas ketiadaan layanan pada hari yang seharusnya efektif tersebut. Dan selanjutnya penggantian jam atas hari yang diliburkan itupun harus ditinjau pelaksanaan operasionalnya, agar warga masyarakat tidak dirugikan dan dibuat kecele. (#)

Menyoal 'Kampanye Awal'- 28 Mei 2007

Seperti diketahui, pemasangan spanduk, stiker ataupun baligho para bakal calon Bupati Banyumas sudah dimulai. Di segala sudut kota hingga rumah warga tak luput dari pemasangan gambar calon Bupati, padahal masa kampanye belum juga dimulai. Entah apa jadinya Kota Purwokerto, bila masa kampanye resmi yang sesungguhnya sudah dimulai. Dalam hal ini tidak banyak yang bisa dilakukan pihak KPUD maupun pihak Panwas, karena kepanitiaan bekum juga terbentuk dan aturan-aturan belum ada. Alhasil yang dipersoalkan hanyalah apakah pemasangan tersebut melalui izin reklame atau tidak. Bertaburannya gambar-gambar para bakal calon yang akan mencalonkan diri pada Pilkada Banyumas kebanyakan memang hanya mengenalkan wajah para figurnya. Biasanya ditambah sedikit slogan Banyumasan atau slogan singkat. Namun tetap saja, dapat dikatakan ini merupakan kampanye 'yang lebih awal' dari waktunya. Tidaklah salah dari segi komunikasi politik untuk saling memulai mengenalkan diri kepada konstituen lebih awal. Namun apakah warga butuh mengenal para bakal calon tersebut hanya dari wajah saja. Lagipula ada syarat mutlak yang tidak bisa dikompromikan bagi para bakal calon untuk maju dalam Pilkada, yaitu harus mempunyai kendaraan politik, partai politik. Tentunya secara rasional politik, tahapan awal yang harus dilakukan para bakal calon untuk bisa terus maju adalah melakukan pendekatan-pendekatan pada Parpol yang ada agar bisa mengusungnya sebagai calon. Daripada memasang stiker, spanduk ataupun baligho di tempat-tempat umum, kedepan, diharapkan ada banyak hal positif lain yang bisa dilakukan para bakal calon ini untuk membuktikan bahwa dirinya mampu memimpin Banyumas. Apalagi bila kampanye masuk masa resminya. Diharapkan akan muncul strategi-strategi kampanye lain yang lebih berkualitas sehingga kegiatan kampenya 'terselubung ataupun resmi' bisa memberikan pendidikan politik bagi warga. Karena seyogyanya kampanye selain ajang pengenalan calon juga merupakan media pendidikan politik bagi warga untuk belajar berdemokrasi.(*)

Menyoal Prostitusi-19 Mei 2007

Terkuaknya kasus perdagangan anak di bawah umur yang ditemukan di wilayah Baturraden Purwokerto seakan menguak dan mengingatkan kita kembali masih adanya eksploitasi manusia terhadap manusia. Anak di bawah umur yang seharusnya masih dalam usia sekolah terpaksa melacurkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang saat ini kian menghimpit. Di tengah persaingan mencari kerja yang amat sulit saat ini, pilihan melacurkan diri pun dianggap mereka sebagai pilihan yang terpaksa dipilih. Perempuan dalam hal ini selalu menjadi korban, diperbudak di negeri orang (menjadi TKI) ternyata di negeri sendiri pun juga harus mengalami perbudakan. Perlu diakui, keberadaan Gang Sadar selama ini telah dikenal sebagai sentra pelacuran. Namun siapa yang mengakuinya? Dianggap sebagai lokalisasi pun tidak, dianggap sebagai pemukiman biasa pun amat naif, mengingat realitasnya di sana terjadi transaksi seks. Situasi demikian membuat perhatian terhadap keberadaan PSK (pekerja seks komersil) disana terabaikan. Terdapatnya pro kontra akan legalisasi sebuah tempat pelacuran memang tidak dapat terhindarkan karena menyangkut nilai budaya, agama dan moral yang ada di masyarakat. Di satu sisi, melegalkan tempat prostitusi akan dianggap melegalkan praktek pelacuran. Namun di sisi lain, membiarkan tanpa aturan sebuah lokalisasi juga berakibat buruk. Penyebaran penyakit seksual, akses yang tidak terbatas dari segala usia, baik pemakai maupun PSK-nya justru membuat dampaknya semakin tidak terukur dan meluas. Terlepas dari ada atau tidaknya pengakuan terhadap lokalisasi tersebut, penyuluhan kesehatan bagi warga dan pelarangan perdagangan anak mutlak diperlukan. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tempat pelacuran merupakan tempat dimana penyebaran penyakit menular seksual seperti HIV-AIDS lebih cepat beredar. Tentunya ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk memikirkan kembali keberadaan lokalisasi ini. Dibatasi atau dilarang sekaligus tentunya menuntut komitmen serius dari pemerintah untuk memikirkan ratusan atau bahkan ribuan orang yang mungkin menggantungkan nasibnya pada keberadaan 'lokalisasi' ini. (#)

Menyoal ADD-14 Mei 07

Minggu ini, beberapa desa di wilayah eks-Karesidenan Banyumas selain sedang sibuk menyelenggarakan Pilkades juga disibukkan dengan turunnya dana ADD (Alokasi Dana Desa). ADD sendiri merupakan instrumen bagi terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan desa secara partisipatif. Diharapkan turunnya ADD ini dapat mewujudkan kemandirian desa. Desa yang mandiri merupakan kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang seiring tuntutan otonomi daerah. Pembangunan kemandirian desa secara bertahap melalui ADD ini diharapkan akan mengikis sifat ketergantungan desa yang ada selama ini. Bila masyarakat dipercaya menyelesaikan masalahnya, maka kreativitas dan ketahanan masyarakat akan berkembang. Dan ini akan menjadi modal penting menghadapi tantangan di masa depan. Untuk itu, dalam penggunaan dan pengelolaan ADD diperlukan partisipasi yang luas dari warga desa. Partisipasi warga di sini seperti halnya dalam pelaksanaan Pilkades bukan hanya sekedar hak tetapi juga tanggungjawab. Pada dasarnya, ADD merupakan alat untuk mempercepat proses kemandirian masyarakat desa agar dapat menyelesaikan berbagai masalah yang sebenarnya bisa mereka pecahkan sendiri di wilayahnya. Dengan adanya ADD, warga desa dapat belajar menangani kegiatan pembangunan secara swakelola dan akhirnya mereka semakin percaya diri untuk mandiri membangun desanya.Untuk itu sudah seharusnya seluruh kegiatan yang didanai oleh ADD direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dan diketahui oleh warga secara luas. Sehingga dana bermilyar-milyar yang diturunkan akan mempunyai nilai guna dan bermanfaat bagi warga. Pemerintah desa seyogyanya bisa menjamin bahwa seluruh unsur dalam masyarakat desa dapat berperan aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan pemeliharaan berbagai proses serta hasil ADD. Yang perlu lagi digarisbawahi adalah bahwa penggunaan ADD haruslah dikerjakan oleh masyarakat desa sesuai dengan kemampuannya. Persyaratan desa yang mendapatkan ADD pun harus dicermati betul oleh pemerintah kabupaten. Karena bukan tidak mungkin ada desa yang membutuhkan dana namun tidak mendapatkan dan ada desa yang sudah mampu menhimpun dana namun masih kebagian dana ADD. Seberapapun besarnya dana tersebut, penggunaannya jelas harus bisa dipertanggungjawabkan dan bisa memberikan manfaat lebih bagi warga desa, tidak hanya perangkatnya.Akhirnya, selamat menggunakan dana ADD secara bertanggung jawab. (#)

Monday, May 7, 2007

Belajar Berdemokrasi - 7 Mei 2007


Pilkades di wilayah Banyumas telah menjelang. Tidak seperti pemilihan pilbup, pilgub dan pilpres, dari dulu pilkades merupakan bentuk pemilihan yang paling mengakar dengan masyarakat. Artinya masyarakat secara langsung bisa menilai dan memilihnya secara langsung.Praktek pemilihan kepala desa (pilkades) selama ini dianggap sebagai arena demokrasi yang paling nyata di desa. Dikarenakan dalam pilkades terjadi kompetisi yang bebas antar calon kades, tingginya partisipasi masyarakat dan pemilihan yang langsung dengan prinsip 'one man one vote'. Kelebihan dari pilkades yang berbeda dengan arena pemilihan langsung lainnya adalah kedekatan calon yang dipilih dengan konstituennya. Dalam pilkades, masyarakat desa sudah mengetahui karakteristik bakal calon kepala desa mereka karena mereka sama-sama hidup di desa. Kehidupan desa membuka ruang bertemu dengan frekuensi lebih, seperti dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kenduri, kerja bhakti dan kegiatan keagamaan lain. Pilkades menjadi sarana yang diharapkan dapat memberikan pelajaran berdemokrasi di level lokal. Namun dalam pengalaman pelaksanaan di beberapa desa, pilkades yang sedianya berlangsung secara demokratis sering harus dibayar dengan risiko politik yang mahal. Kekerasan meledak ketika kubu calon kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Buntutnya adalah dendam pribadi yang terus dibawa, serta permusuhan antar pendukung yang notabene merupakan warga satu desa. Hal ini sungguh amat disayangkan dan merupakan contoh yang tidak baik bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal. Apakah ini karena ketidaksiapan masyarakat berdemokrasi atau mekanisme demokrasi itu sendiri?Ini tentunya merupakan perdebatan tersendiri dan sangat tergantung pada karakteristik desa yang bersangkutan. Mekanisme demokrasi di desa tentunya sangat harus memperhatikan karakteristik dari desa yang bersangkutan. Menyeragamkan mekanisme demokrasi di semua wilayah tanpa memperhatikan kultur lokal hanya akan membuahkan bibit konflik dan pertikaian. Yang juga harus dipahami adalah demokrasi bukanlah kebebasan individu karena prinsip dasar demokrasi yang sesungguhnya adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Sangat diharapkan oleh masyarakat, Pilkades di wilayah Banyumas bisa berlangsung damai. Lancar dan damainya pelaksanaan pilkades akan membuat warga belajar berdemokrasi dengan baik. Tentunya kesadaran untuk menghargai calon lain dan menghargai kemenangan orang lain seharusnya menjadi kesadaran dari warga desa sendiri. Bukan kesadaran yang dipaksakan karena ketatnya pengamanan dalam Pilkades oleh para aparat. Kejujuran dan sikap saling menghargai sebagai sesama warga sudah seharusnya menjadi dasar pelaksanaan Pilkades. Dengan begitu, tidak akan ada kecurangan dari pihak penyelenggara maupun rasa kekesalan dari pendukung yang kalah dalam pelaksanaan Pilkades nanti. Selamat ber-Pilkades.(#)

Kebutuhan Hidup yang Terus Naik - 5 Mei 2007

Sejak akhir bulan kemarin hingga awal Mei ini masyarakat dihadapkan kenaikan beberapa bahan pokok yang banyak digunakan oleh konsumsi rumah tangga. Kenaikan ini paling mencolok pada kenaikan harga minyak goreng. Di samping minyak goreng, masyarakat saat ini juga tengah merasakan kenaikan harga telur dan daging ayam. Harga minyak goreng yang terus-terusan merangkak naik sudah barang tentu berimbas pada naiknya kebutuhan hidup masyarakat saat ini. Berbagai skenario mengapa harga minyak goreng naik pun bermunculan. Alasan naiknya harga sawit mentah dunia menjadi alasan yang mudah diterima masyarakat. Namun alasan itu juga sulit diterima, mengingat Indonesia adalah wilayah yang subur dan perkebunan kelapas sawit melimpah. Minyak goreng merupakan kebutuhan konsumsi primer yang banyak digunakan masyarakat.Meskipun stok di pasar tetap stabil namun kenaikan harga minyak goreng tanpa terkontrol tentunya akan semakin memberatkan biaya konsumsi rumah tangga. Dampak yang pastinya akan lebih terasa adalah di kalangan pedagang gorengan maupun pedagang kecil lainnya yang menggunakan minyak goreng dalam mengolah panganan yang dijualnya. Untuk menaikkan makanan yang dijualnya, mereka takut akan ditinggalkan pembeli. Sementara bila tidak menaikkan, tentunya mereka harus menanggung kerugian ataupun mendapatkan sedikit keuntungan dari untung yang memang sudah sedikit.Perdebatan mengenai pentingnya dirasakan operasi pasar terhadap kebutuhan ini tentu saja menjadi suatu hal yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Ibu-ibu rumah tangga sudah menjerit dikarenakan kenaikan harga minyak goreng yang terus merangkak naik secara perlahan. Memang pada prakteknya di lapangan, banyak yang menyangsikan keefektifan dari operasi pasar. Namun paling tidak adanya operasi pasar bisa sedikit menjadi 'oase' bagi masyarakat untuk dapat mendapatkan minyak goreng dengan harga normal. Memang, harga beberapa kebutuhan seperti minyak goreng sangat tergantung mekanisme pasar dan biaya produksi. Namun bila ada komitmen pemerintah untuk menstabilkan harga kebutuhan yang bayak digunakan masyarakat, tentunya akan sangat berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan meringankan beban masyarakat. .

Wajah Pendidikan - 3 Mei 2007


Momentum 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional seakan hanya menjadi hari seremonial belaka. Hari Pendidikan Nasional hanya dimaknai sebagai rutinitas tahunan tanpa melakukan refleksi atas kondisi pendidikan yang masih sangat memprihatinkan. Di mana-mana masih ada saja berita soal kondisi sekolah yang rusak, kecurangan dalam ujian nasional, penyalahgunaan dana BOS dan banyak lagi persoalan dunia pendidikan lainnya yang bila disebuatkan satu per satu akan memperlihatkan wajah pendidikan kita yang carut marut. Yang paling memprihatinkan dari berbagai masalah pendidikan adalah tingginya angka putus sekolah. Mahalnya biaya pendidikan membuat angka putus sekolah tetap saja tinggi. Biaya pendidikan tidak bisa dilihat dari sekedar SPP saja, namun segala sesuatu yang menunjang proses menjalani pendidikan juga membutuhkan biaya tinggi seperti buku dan transportasi menuju sekolah. Proses menjalani pendidikan merupakan hal yang luput diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. UN misalnya, yang hanya berorientasi pada hasil saja tanpa memperhitungkan proses belajar dan pencapaian siswa. Kebijakan yang berorientasi pada hasil ini ini hanya mendorong sekolah dan guru untuk mencurangi UN supaya anak didiknya lulus. Kelulusan seakan-akan menjadi harga mati.Kondisi lainnya adalah masalah kesejahteraan guru. Guru sebagai bagian dari sebuah proses pendidikan seharusnya bisa menjadi ujung tombak agar proses mendidik bisa menghasilkan kualitas siswa yang baik.Namun, kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru membuat guru pun harus pontang panting mencari tambahan bagi kesejahteraan keluargnya. Akibatnya, tugas mendidik yang diembannya bukan lagi sebuah tugas suci namun lebih berorientasi mengejar setoran. Tentunya hal demikian tidak akan terjadi apabila kesejahteraan guru mendapat perhatian lebih.Begitu juga dengan kondisi sekolah yag rusak. Bila perhatian terhadap proses lebih penting, tentunya kesigapan membangun atau memperbaiki kembali sekolah yang rusak mendapat prioritas. Karena ruangan sekolah yang aman dan nyaman tentunya akan sangat mempengaruhi proses belajar mengajar berjalan baik. Perlu kita sadari bersama bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sebuah proses, dimana proses tersebutlah yang seharusnya menghasilkan kualitas output. Oleh karenanya kebijakan yang mendukung proses pendidikan seyogyanya juga mendapat perhatian. Tidak hanya kuantitas sekedar angka kelulusan ataupun prestasi. Bila prosesnya bagus, niscaya prestasi akan teraih dengan sendirinya. Bila kita hanya melihat kondisi pendidikan dari outputnya saja, niscaya persoalan pendidikan tak akan pernah selesai.

Melihat Lagi Kebijakan Perburuhan - 1 Mei 2007

Salah satu persoalan yang tidak kunjung selesai dalam dunia perburuhan adalah soal pengupahan. Kebijakan pengupahan selalu menjadi perhatian baik oleh pengusaha maupun buruh-nya. Setiap tahun menjelang penetapannya, soal upah selalu mengundang polemik. Dahulu, kebijakan UMR (upah minimum regional) dipandang tidak mencerminkan kemampuan dari masing-masing wilayah. Oleh karenanya pada saat arus otonomi daerah marak, kebijakan itu pun berubah menjadi UMK (Upah Minimum Kabupaten) yang dianggap lebih bisa memperhatikan kemampuan masing-masing daerah dalam tingkat kabupaten. Yang menjadi permasalahan bagi para buruh dalam pembicaraan soal upah jelas bukanlah masalah terminologinya, melainkan komponen, standar dan item yang dimasukkan sebagai dasar perhitungan upah minimum. Perhitungan berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM) dianggap tidak lagi manusiawi, kerenanya kemudian muncul konsep Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Konsep kebutuhan hidup layak tentunya mempunyai banyak standar dan karenanya meskiun telah ditetapkan selalu mengundang kontroversi. Belum lagi bila dikaitkan dengan kesiapan pengusaha memberlakukan UMK dan melihat lagi produktivitas usaha di tingkat lokal. Selain permasalahan pengupahan, masalah lain yang menjadi perhatian buruh saat ini adalah persoalan ketidakpastian kerja. Tingginya angka pengangguran membuat persaingan memperebutkan periuk nasi dengan bekerja sebagai buruh menjadi kesempatan yang langka. Krisis ekonomi dan kenaikan bahan baku yang bertubi-tubi membuat banyak usaha harus gulung tikar dan ini tentu saja membuat posisi buruh dari kerjanya akan terancam juga. Angka pengangguran yang tinggi, minimnya kesempatan kerja dan ketidakpastian usaha merupakan masalah besar lain yang harus dibenahi selain upah. Dari data dari Disnaker Banyumas, tercatat pada akhir Februari 2007 saja sekitar 27 ribu orang masih menunggu mendapatkan pekerjaan. Itu baru yang tercatat di Disnaker, tentunya puluhan ribu bahkan jutaan lainnya yang tidak mencatatkan diri di Disnaker perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengentasan angka pengangguran diriingi penciptaan lapangan kerja merupakan 'PR' besar yang harus segera dituntaskan agar kepastian 'bisa' bekerja di Banyumas dapat meningkatkan potensi dan produktivitas buruh yang dengan sendirinya membuat potensi daerah terangkat.

Buruh Migran dan Pengangguran - 30 April 2007

Selama ini Banyumas dikenal sebagai wilayah pemasok buruh migran atau TKI yang cukup besar. Dari wilayah Banjarnegara, Cilacap ataupun Purbalingga, tercatat ratusan orang (kebanyakan perempuan) dikirimkan untuk bisa bekerja di luar negeri, banyak juga agen-agen TKI yang tersebar hingga ke desa-desa untuk menawarkan para warga desa menjadi buruh migran. Langkanya kesempatan kerja di 'kampung' sendiri menjadikan para warga desa banyak yang mengambil pilihan menjadi TKI. Yah..gaji tinggi dan kesempatan kerja merupakan alasan yang diberikan ketika orang harus dan terpaksa memilih menjadi buruh migran/TKI. Namun ternyata banyak cerita dari para buruh migran yang tidak mendapatkan apa yang diharapkannya ketika berangkat. Banyak kasus yang tercatat di media massa yang menyatakan tidak adilnya perlakuan yang diterima TKI kita di luar. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil mulai dari PJTKI, majikan mereka maupun lemahnya perlindungan dan perhatian negara/aparat terhadap keberadaan dan nasib mereka. Disadari atau tidak, kontribusi para TKI ini cukup besar bagi daerah asalnya. Meskipun tidakmenyumbang langsung pada PAD namun sumbangan mereka bagi keluarga yang ditinggalkan cukup besar. Pada tahun 2005 saja pernah tercatat sejumlah RP 600 juta masuk ke wilayah Banyumas dari kiriman TKI pada saat menjelang hari lebaran. Bayangkan pada tahun ini, tentunya angka itu sudah bertambah dan mungkin berlipat. Sumbangan mereka pada keluarga daerah asal sangat membantu kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan. Meskipun juga di sisi lain meninggalkan permasalahan lainnya seperti pengasuhan anak dan tercerainya keluarga dari si TKI. Besarnya peran para TKI ini seharusnya bisa menggugah para petingi dan aparat baikdi tingkat lokal maupun pusat untuk lebih mengawasi dan memberikan jaminan perlindungan bagi para 'penyumbang devisa' ini. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bagaimana menciptakan peluang kerja di daerah sehingga menjadi buruh migran tidak lagi menjadi keharusan pilihan bagi warga yang ingin bekerja. Penciptaan peluang kerja merupakan poin penting yang harus dijadikan program bagi para petinggi daerah maupun para calon petinggi daerah yang akan bertarung dalam pilkada. Menciptakan peluang kerja tidak harus investasi asing, menemukan potensi-potensi yang ada di masyarakat dan mengembangkan potensi tersebut juga merupakan jalan penciptaan lapangan kerja yang menjadi 'PR' bagi pemerintah dalam program pembangunan. Menjelang hari buruh besok, 1 Mei, mungkin bisa menjadi momentum untuk memikirkan lagi soal perlindungan buruh migran dan soal pengangguran yang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai.

Sunday, April 29, 2007

Manusia dan Air - 23 April 2007


22 April kemarin merupakan peringatan hari bumi internasional. Penjarahan hutan, krisis air bersih dan lain-lain merupakan berita persoalan lingkungan yang kerap muncul di wilayah Banyumas. Meskipun wilayah Banyumas berada di kaki gunung Slamet namun krisis air juga menjadi permasalahan yang tak juga terselesaikan, terutama ketika datang musim kemarau. Padahall air sebagai sumber daya yang muncul dari bumi kita merupakan benda yang sebenarnya bisa direproduksi bila kita mengelola bumi dengan baik. Air merupakan sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan ada yang mengatakan bahwa air merupakan sumber kehidupan. Manusia, baik anak-anak maupun dewasa, kaya ataupun miskin, di kota maupun desa membutuhkan air untuk kehidupan sehari-hari-nya. Kebutuhan akan air pun tampak nyata di kalangan petani dimana mereka amat membutuhkan air untuk pengairan sawahnya. Untuk administrasi pembagian air di areal persawahan dikenal sistem irigasi agar pembagian air bisa merata ke seluruh areal persawahan yang tergantung pada air irigasi. Sementara untuk masyarakat perkotaan, ada perusahaan air minum yang menjadi pengelola sekaligus administrator distribusi air berish yang dipakai untuk kehidupan sehari-hari masyarakat.
Air sebagai 'public goods' menjadikan pengelolaan atasnya menuntut manajemen keadilan. Bagaimana petani masih bisa mendapatkan air untuk sawah dan kebutuhan sehari-hari dan bagaimana masyarakat perkotaan sebagai konsumen air juga bisa mendapatkan air yang layak pakai. Jelas pengelolaan atas air sebagai barang publik menjadi tanggung jawab negara-pemerintah dan seharusnya tidak bisa diserahkan ke swasta. Dalam hal keadilan air, pemerintah harus segera meninjau kembali tanpa harus merasa kalah, Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air yang memberi peluang hak guna air kepada swasta yang secara nyata bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Meskipun dalam kenyataannya saat ini di Indonesia sudah banyak sumber mata air yang dikuasai oleh perusahaan air minum kemasan.
Perlu dan harus kita sadari bahwa pilihan menyerahkan sumber daya yang terbatas kepada pemodal yang tidak kenal batas, adalah awal dari bencana yang mungkin tidak lama lagi akan dirasakan oleh semua orang, di kota maupun desa, kaya maupun miskin. Air adalah sumber daya yang terbatas, oleh karenanya pengelolaannya pun harus diatur seadil-adilnya agar tidak ada pihak yang dirugikan. Air yang bersih pun akan kita dapat bila kita memberi perhatian lebih pada pengelolaan lingkungan. Penanaman hutan kembali dan menindak para penjarah-penjarah hutan skala besar menjadi tanggung jawab pemerintah untuk bisa menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga ketersediaan sumber daya air.

Menyongsong Ujian Akhir Nasional - 16 April 2007

Minggu ini merupakan hari-hari mendebarkan bagi banyak kalangan pelajar yang duduk di tingkat akhir. Pasalnya, pada minggu ini UAN (ujian akhir nasional) akan dilaksanakan secara serempak secara nasional. Meksipun pada awal permberlakuannya UAN banyak menuai kontroversi di kalangan pemerhati pendidikan, toh kebijakan ini terus berjalan. Pelaksanaan ujian nasional dengan mutu dan standar yang sama merupakan parameter adanya pemerataan pendidikan di Indonesia. Mutu pendidikan antar daerah yang tidak sama merupakan salah satu hal yang menjadikan banyak pihak keberatan akan keberlangsungan UAN. Namun pendapat lainnya menyatakan bahwa pemberlakuan UAN justru akan menjadi pemicu agar terjadi pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah. Jelas, pemerataan pendidikan mempunyai prasyarat akses yang merata bagi semua orang. Namun mahalnya pendidikan membuat si miskin tidak bisa menikmati institusi pendidikan secara layak. Terlepas dari angka kelulusan yang diinginkan dari UAN, yang lebih penting adalah kualitas dari pendidikan yang telah diberikan sekolah. UAN bukanlah segala-galanya. Karena lulusnya seseorang dari tingkat pendidikan tertentu, selain mempunyai kemampuan intelektual tertentu juga ada konsekuensi sikap dan moral yang harus dimiliki sang anak didik. Siapapun tidak ada yang rela bila mempunyai penerus bangsa yang pintar namun tidak mempunyai sikap dan moral yang baik. Kualitas pendidikan bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah, karena siswa juga mempunyai keluarga. Hal ini sering dilupakan para orangtua bahwa peran mereka juga sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas sang anak. .

Isu dan Masyarakat - 14 April 2007


Maraknya isu tentang adanya baku tembak di kediaman Mayangsari cukup menggegerkan warga Banyumas. Dikarenakan isu yang beredar juga, kejadian tersebut berlangsung di kediaman artis tersebut di Purwokerto. Yah..sorotan akan kehidupan artis seakan-akan menjadi oase tersendiri di tengah berita 'real' akan himpitan ekonomi yang terus menghimpit. Di tengah naiknya harga telur dan harga ayam, di tengah hiruk pikuk Pilkada dan Pilkades dan lain-lain, berita akan Mayangsari menjadi selingan yang mungkin sedikit memecah perhatian warga Banyumas. Mendengar isu,boleh-boleh saja. Namun mempercayai isu tentunya tidak bisa dilakukan. Karena isu sendiri adalah berita yang tidak jelas kebenarannya. Selama ini isu tentang selebritis 'mungkin' dianggap tidak membahayakan bagi masyarakat luas. Lain halnya bila yang beredar adalah isu politik ataupun ekonomi. Responsifnya masyarakat untuk mempercayai isu yang beredar harus dilihat sebagai penyakit sosial. Dalam isu-isu politik atau ekonomi,beradarnya isu akan mengakibatkan tindakan massal dari masyarakat ataupun kelompok masyarakat. Isu kecurangan pilkada akan membuat kelompok masyarakat yang kalah akan berang. Isu naiknya harga BBM membuat orang ramai-ramai membeli BBM. Akibat-akibat dari tindakan-tindakan massal ini tentunya akan merubah kondusivitas masyarakat. Meskipun banyak yang mengatakan bahwa isu adalah santapan masyarakat bawah, namun dalam realitasnya isu apapun bentuknya, selalu laris di kalangan bawah ataupun atas. Untuk mencegah isu-isu yang tidak kondusif bagi masyarakat, sangat penting perilaku dan komunikasi politik dari para tokoh masyarakat untuk tidakmenciptakan isu yang mengangggu kondisi yang sudah kondusif. Dalam hal ini, diharapkan para tokoh masyarakat, yang bisa memancing opini publik, bisa berprilaku jujur, jangan hanya menyatakan kepentingannya.

Banyumas yang Kaya Budaya-9 April 2007

Akhir minggu kemarin, Purwokerto sarat dengan kegiatan budaya. Semua acara tersebut dipadati oleh ribuan bahkan mungkin hingga ratusan ribu orang. Hari jadi Banyumas sendiri pun dilaksanakan dengan kegiatan padat budaya dengan mengadakan iring-iringan kirab hari jadi Banyumas yang begitu mengesankan. Ribuan orang memadati jalur yang dilewati oleh peserta kirab. Antuasiasme warga Purwokerto dan sekitarnya sungguh memberikan makna bahwa mereka sangat mencintai kotanya. Selain itu kesan pluralitas dan kebersamaan terlihat juga dalam acara itu. Seluruh elemen masyarakat mulai pejabat hingga pedagang kaki lima mendapat tempat dalam kirab itu.
Yah, usia Banyumas memang sudah uzur (425 tahun). Ciri khas sebagai daerah yang berbudaya sangat melekat erat pada Banyumas. Ribuan warga Banyumas yang larut dalam kegiatan budaya ini menunjukkan apresiasi masyarakat yang sangat tinggi pada kegiatan kebudayaan. Entah apapun motifnya,namun kegiatan budaya selalu diminati oleh sebagian besar warga Banyumas. Apresiasi ini sangat menggembirakan mengingat kegiatan budaya berpotensi sebagai alat dalam pendidikan dan alat untuk menjamin kualitas hidup masyarakatnya.
Di sisi lain, arus budaya modern dan gaya kota besar juga membanjiri Banyumas. Mulai dari gaya pakaian, musik hingga bahasa pun menghinggapi kalangan muda Banyumas. Yah, Banyumas memang unik. Di sinilah terjadi berbagai pertemuan budaya. dan hal tersebut haruslah dihargai sebagai penghormatan akan pluralitas selama tidak saling menganggu satu sama lain. Yang lebij disayangkan lagi, Banyumas belum memiliki tempat dimana kegiatan kebudayaan ini bisa dipentaskan. Arena budaya ini bisa menjadi ajang berkiprahnya para budayawan dan seniman Banyumas untuk mementaskan karya-karyanya. Minimnya arenabudaya ini membuat aktivitas kebudayaan Banyumas hanya muncul pada momen-monen tertentu saja. Tentu saja, perhatian akan tempat untuk aktivitas budaya ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk lebih mengembangkan budaya daerah.
Sebagai kota yang kaya akan budaya, Banyumas bisa dikembangkan sebagai kota wisata budaya. Dalam usianya sekarang ini dan perkembangan potensi daerah ke depan, Banyumas sudah seharusnyalah mampu menempatkan dirinya sebagai kawasan tumbuh dan berkembangnya berbagai kesenian khas Banyumas seperti Calung Banyumasan, Pedalangan Gagrak Banyumasan, Ronggeng, Begalan, Cowongan bahkan Musik Kenthongan dan Calung, salawatan, lengger, angguk dan mungkin masih banyak lagi. Bukankah budaya menunjukkan identitas diri?

Malangnya Pedagang Kecil di Wilayah Banyumas-26 Maret 2007

Jauh sebelum istilah Usaha Kecil Menengah (UKM) dikumandangkan, masyarakat sudah terbiasa untuk berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk menopang hidupnya dan keluarganya. Mereka bisa ditemui di pedesaan dalam bentuk buruh tani. Atau di perkotaan dalam bentuk kuli pekerja kasar. Atau bahkan dalam bentuknya yang lebih maju adalah pedagang kaki lima.
Mencari penghidupan dengan berdagang merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak ditekuni oleh masyarakat di wilayah karesidenan Banyumas
Pedagang baik yang berdagang di pasar, di trotoar atau badan jalan (PKL) ataupun pedagang warungan tentunya membutuhkan modal. Modal seorang pedagang secara gampangnya di atas kertas biasanya terdiri dari barang dagangan dan alat untuk membawa, menyajikan ataupun menjajakan dagangannya. Itu tentunya baru modal bersih. Namun berdagang di wilayah Banyumas harus mempunyai modal lebih besar.
Lihat saja aturan retribusi yang sanga tidak jelas dan berbeda atara satu dan lainnya. Para pedagang senantiasa dibodohi dengan harus membayar dari puluhan ribu hingga ratusan ribu kepada oknum yang tidak jelas untuk apa. Hal ini berlaku baik bagi para pedagang di pasar maupun pedagang kaki lima yang selalu dianggap ilegal. Pasar sebagai tempat mencari penghidupan mereka dibiarkan berantakan dan rusak sehingga membuat para pedagag tidak nyaman berjualan. Padahal parapedagang pasar ini harus membayar ketidaknyamanan ini dengan retribusi dan sewa pasar setiap harinya.
Para pedagang ini baik pedagang pasar dan pedagang kaki lima, ribuan jumlahnya. Supplier maupun costumer mereka tentu bukanlah perusahaan raksasa, melainkan sesama orang-orang kecil. Jika dihitung lagi dengan banyaknya warung-warung dan toko-toko kecil, baik yang menjual makanan ataupun barang kelontong, dan dihitung dengan orang-orang yang tergantung kepadanya, bisa menjadi puluhan juta. Merekalah, yang secara de facto menyokong kehidupan sejumlah besar masyarakat Banyumas, dari mahasiswa hingga ibu rumah tangga.
Namun pemerintah senantiasa melihat sebelah mata pada kegiatan berdagang. Para pedagang kecil selalu diperlakukan lebih rendah dibandingkan para pedagang besar yang mendirikan ritel atau pusat perbelanjaan. Seyogyanya pemerintah bisa lebih memperhatikan para ‘penyokong’ ekonomi ini dengan antara lain mengevaluasi secara radikal mekanisme perencanaan dan pemberian izin kepada para pelaku ekonomi kecil. Sebuah kota seharusnyalah memiliki tempat-tempat khusus di mana pedagang kaki lima dan pedagang kecil bisa melakukan usaha, sama persis dengan bagaimana tempat untuk mall dan pasar swalayan serta layanan retail diberikan oleh pemerintah.