Monday, May 7, 2007

Belajar Berdemokrasi - 7 Mei 2007


Pilkades di wilayah Banyumas telah menjelang. Tidak seperti pemilihan pilbup, pilgub dan pilpres, dari dulu pilkades merupakan bentuk pemilihan yang paling mengakar dengan masyarakat. Artinya masyarakat secara langsung bisa menilai dan memilihnya secara langsung.Praktek pemilihan kepala desa (pilkades) selama ini dianggap sebagai arena demokrasi yang paling nyata di desa. Dikarenakan dalam pilkades terjadi kompetisi yang bebas antar calon kades, tingginya partisipasi masyarakat dan pemilihan yang langsung dengan prinsip 'one man one vote'. Kelebihan dari pilkades yang berbeda dengan arena pemilihan langsung lainnya adalah kedekatan calon yang dipilih dengan konstituennya. Dalam pilkades, masyarakat desa sudah mengetahui karakteristik bakal calon kepala desa mereka karena mereka sama-sama hidup di desa. Kehidupan desa membuka ruang bertemu dengan frekuensi lebih, seperti dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kenduri, kerja bhakti dan kegiatan keagamaan lain. Pilkades menjadi sarana yang diharapkan dapat memberikan pelajaran berdemokrasi di level lokal. Namun dalam pengalaman pelaksanaan di beberapa desa, pilkades yang sedianya berlangsung secara demokratis sering harus dibayar dengan risiko politik yang mahal. Kekerasan meledak ketika kubu calon kades yang kalah melampiaskan kekecewaannya. Buntutnya adalah dendam pribadi yang terus dibawa, serta permusuhan antar pendukung yang notabene merupakan warga satu desa. Hal ini sungguh amat disayangkan dan merupakan contoh yang tidak baik bagi perkembangan demokrasi di tingkat lokal. Apakah ini karena ketidaksiapan masyarakat berdemokrasi atau mekanisme demokrasi itu sendiri?Ini tentunya merupakan perdebatan tersendiri dan sangat tergantung pada karakteristik desa yang bersangkutan. Mekanisme demokrasi di desa tentunya sangat harus memperhatikan karakteristik dari desa yang bersangkutan. Menyeragamkan mekanisme demokrasi di semua wilayah tanpa memperhatikan kultur lokal hanya akan membuahkan bibit konflik dan pertikaian. Yang juga harus dipahami adalah demokrasi bukanlah kebebasan individu karena prinsip dasar demokrasi yang sesungguhnya adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Sangat diharapkan oleh masyarakat, Pilkades di wilayah Banyumas bisa berlangsung damai. Lancar dan damainya pelaksanaan pilkades akan membuat warga belajar berdemokrasi dengan baik. Tentunya kesadaran untuk menghargai calon lain dan menghargai kemenangan orang lain seharusnya menjadi kesadaran dari warga desa sendiri. Bukan kesadaran yang dipaksakan karena ketatnya pengamanan dalam Pilkades oleh para aparat. Kejujuran dan sikap saling menghargai sebagai sesama warga sudah seharusnya menjadi dasar pelaksanaan Pilkades. Dengan begitu, tidak akan ada kecurangan dari pihak penyelenggara maupun rasa kekesalan dari pendukung yang kalah dalam pelaksanaan Pilkades nanti. Selamat ber-Pilkades.(#)

Kebutuhan Hidup yang Terus Naik - 5 Mei 2007

Sejak akhir bulan kemarin hingga awal Mei ini masyarakat dihadapkan kenaikan beberapa bahan pokok yang banyak digunakan oleh konsumsi rumah tangga. Kenaikan ini paling mencolok pada kenaikan harga minyak goreng. Di samping minyak goreng, masyarakat saat ini juga tengah merasakan kenaikan harga telur dan daging ayam. Harga minyak goreng yang terus-terusan merangkak naik sudah barang tentu berimbas pada naiknya kebutuhan hidup masyarakat saat ini. Berbagai skenario mengapa harga minyak goreng naik pun bermunculan. Alasan naiknya harga sawit mentah dunia menjadi alasan yang mudah diterima masyarakat. Namun alasan itu juga sulit diterima, mengingat Indonesia adalah wilayah yang subur dan perkebunan kelapas sawit melimpah. Minyak goreng merupakan kebutuhan konsumsi primer yang banyak digunakan masyarakat.Meskipun stok di pasar tetap stabil namun kenaikan harga minyak goreng tanpa terkontrol tentunya akan semakin memberatkan biaya konsumsi rumah tangga. Dampak yang pastinya akan lebih terasa adalah di kalangan pedagang gorengan maupun pedagang kecil lainnya yang menggunakan minyak goreng dalam mengolah panganan yang dijualnya. Untuk menaikkan makanan yang dijualnya, mereka takut akan ditinggalkan pembeli. Sementara bila tidak menaikkan, tentunya mereka harus menanggung kerugian ataupun mendapatkan sedikit keuntungan dari untung yang memang sudah sedikit.Perdebatan mengenai pentingnya dirasakan operasi pasar terhadap kebutuhan ini tentu saja menjadi suatu hal yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Ibu-ibu rumah tangga sudah menjerit dikarenakan kenaikan harga minyak goreng yang terus merangkak naik secara perlahan. Memang pada prakteknya di lapangan, banyak yang menyangsikan keefektifan dari operasi pasar. Namun paling tidak adanya operasi pasar bisa sedikit menjadi 'oase' bagi masyarakat untuk dapat mendapatkan minyak goreng dengan harga normal. Memang, harga beberapa kebutuhan seperti minyak goreng sangat tergantung mekanisme pasar dan biaya produksi. Namun bila ada komitmen pemerintah untuk menstabilkan harga kebutuhan yang bayak digunakan masyarakat, tentunya akan sangat berdampak pada peningkatan kualitas hidup dan meringankan beban masyarakat. .

Wajah Pendidikan - 3 Mei 2007


Momentum 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional seakan hanya menjadi hari seremonial belaka. Hari Pendidikan Nasional hanya dimaknai sebagai rutinitas tahunan tanpa melakukan refleksi atas kondisi pendidikan yang masih sangat memprihatinkan. Di mana-mana masih ada saja berita soal kondisi sekolah yang rusak, kecurangan dalam ujian nasional, penyalahgunaan dana BOS dan banyak lagi persoalan dunia pendidikan lainnya yang bila disebuatkan satu per satu akan memperlihatkan wajah pendidikan kita yang carut marut. Yang paling memprihatinkan dari berbagai masalah pendidikan adalah tingginya angka putus sekolah. Mahalnya biaya pendidikan membuat angka putus sekolah tetap saja tinggi. Biaya pendidikan tidak bisa dilihat dari sekedar SPP saja, namun segala sesuatu yang menunjang proses menjalani pendidikan juga membutuhkan biaya tinggi seperti buku dan transportasi menuju sekolah. Proses menjalani pendidikan merupakan hal yang luput diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. UN misalnya, yang hanya berorientasi pada hasil saja tanpa memperhitungkan proses belajar dan pencapaian siswa. Kebijakan yang berorientasi pada hasil ini ini hanya mendorong sekolah dan guru untuk mencurangi UN supaya anak didiknya lulus. Kelulusan seakan-akan menjadi harga mati.Kondisi lainnya adalah masalah kesejahteraan guru. Guru sebagai bagian dari sebuah proses pendidikan seharusnya bisa menjadi ujung tombak agar proses mendidik bisa menghasilkan kualitas siswa yang baik.Namun, kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru membuat guru pun harus pontang panting mencari tambahan bagi kesejahteraan keluargnya. Akibatnya, tugas mendidik yang diembannya bukan lagi sebuah tugas suci namun lebih berorientasi mengejar setoran. Tentunya hal demikian tidak akan terjadi apabila kesejahteraan guru mendapat perhatian lebih.Begitu juga dengan kondisi sekolah yag rusak. Bila perhatian terhadap proses lebih penting, tentunya kesigapan membangun atau memperbaiki kembali sekolah yang rusak mendapat prioritas. Karena ruangan sekolah yang aman dan nyaman tentunya akan sangat mempengaruhi proses belajar mengajar berjalan baik. Perlu kita sadari bersama bahwa sesungguhnya pendidikan adalah sebuah proses, dimana proses tersebutlah yang seharusnya menghasilkan kualitas output. Oleh karenanya kebijakan yang mendukung proses pendidikan seyogyanya juga mendapat perhatian. Tidak hanya kuantitas sekedar angka kelulusan ataupun prestasi. Bila prosesnya bagus, niscaya prestasi akan teraih dengan sendirinya. Bila kita hanya melihat kondisi pendidikan dari outputnya saja, niscaya persoalan pendidikan tak akan pernah selesai.

Melihat Lagi Kebijakan Perburuhan - 1 Mei 2007

Salah satu persoalan yang tidak kunjung selesai dalam dunia perburuhan adalah soal pengupahan. Kebijakan pengupahan selalu menjadi perhatian baik oleh pengusaha maupun buruh-nya. Setiap tahun menjelang penetapannya, soal upah selalu mengundang polemik. Dahulu, kebijakan UMR (upah minimum regional) dipandang tidak mencerminkan kemampuan dari masing-masing wilayah. Oleh karenanya pada saat arus otonomi daerah marak, kebijakan itu pun berubah menjadi UMK (Upah Minimum Kabupaten) yang dianggap lebih bisa memperhatikan kemampuan masing-masing daerah dalam tingkat kabupaten. Yang menjadi permasalahan bagi para buruh dalam pembicaraan soal upah jelas bukanlah masalah terminologinya, melainkan komponen, standar dan item yang dimasukkan sebagai dasar perhitungan upah minimum. Perhitungan berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM) dianggap tidak lagi manusiawi, kerenanya kemudian muncul konsep Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Konsep kebutuhan hidup layak tentunya mempunyai banyak standar dan karenanya meskiun telah ditetapkan selalu mengundang kontroversi. Belum lagi bila dikaitkan dengan kesiapan pengusaha memberlakukan UMK dan melihat lagi produktivitas usaha di tingkat lokal. Selain permasalahan pengupahan, masalah lain yang menjadi perhatian buruh saat ini adalah persoalan ketidakpastian kerja. Tingginya angka pengangguran membuat persaingan memperebutkan periuk nasi dengan bekerja sebagai buruh menjadi kesempatan yang langka. Krisis ekonomi dan kenaikan bahan baku yang bertubi-tubi membuat banyak usaha harus gulung tikar dan ini tentu saja membuat posisi buruh dari kerjanya akan terancam juga. Angka pengangguran yang tinggi, minimnya kesempatan kerja dan ketidakpastian usaha merupakan masalah besar lain yang harus dibenahi selain upah. Dari data dari Disnaker Banyumas, tercatat pada akhir Februari 2007 saja sekitar 27 ribu orang masih menunggu mendapatkan pekerjaan. Itu baru yang tercatat di Disnaker, tentunya puluhan ribu bahkan jutaan lainnya yang tidak mencatatkan diri di Disnaker perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pengentasan angka pengangguran diriingi penciptaan lapangan kerja merupakan 'PR' besar yang harus segera dituntaskan agar kepastian 'bisa' bekerja di Banyumas dapat meningkatkan potensi dan produktivitas buruh yang dengan sendirinya membuat potensi daerah terangkat.

Buruh Migran dan Pengangguran - 30 April 2007

Selama ini Banyumas dikenal sebagai wilayah pemasok buruh migran atau TKI yang cukup besar. Dari wilayah Banjarnegara, Cilacap ataupun Purbalingga, tercatat ratusan orang (kebanyakan perempuan) dikirimkan untuk bisa bekerja di luar negeri, banyak juga agen-agen TKI yang tersebar hingga ke desa-desa untuk menawarkan para warga desa menjadi buruh migran. Langkanya kesempatan kerja di 'kampung' sendiri menjadikan para warga desa banyak yang mengambil pilihan menjadi TKI. Yah..gaji tinggi dan kesempatan kerja merupakan alasan yang diberikan ketika orang harus dan terpaksa memilih menjadi buruh migran/TKI. Namun ternyata banyak cerita dari para buruh migran yang tidak mendapatkan apa yang diharapkannya ketika berangkat. Banyak kasus yang tercatat di media massa yang menyatakan tidak adilnya perlakuan yang diterima TKI kita di luar. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak adil mulai dari PJTKI, majikan mereka maupun lemahnya perlindungan dan perhatian negara/aparat terhadap keberadaan dan nasib mereka. Disadari atau tidak, kontribusi para TKI ini cukup besar bagi daerah asalnya. Meskipun tidakmenyumbang langsung pada PAD namun sumbangan mereka bagi keluarga yang ditinggalkan cukup besar. Pada tahun 2005 saja pernah tercatat sejumlah RP 600 juta masuk ke wilayah Banyumas dari kiriman TKI pada saat menjelang hari lebaran. Bayangkan pada tahun ini, tentunya angka itu sudah bertambah dan mungkin berlipat. Sumbangan mereka pada keluarga daerah asal sangat membantu kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan. Meskipun juga di sisi lain meninggalkan permasalahan lainnya seperti pengasuhan anak dan tercerainya keluarga dari si TKI. Besarnya peran para TKI ini seharusnya bisa menggugah para petingi dan aparat baikdi tingkat lokal maupun pusat untuk lebih mengawasi dan memberikan jaminan perlindungan bagi para 'penyumbang devisa' ini. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bagaimana menciptakan peluang kerja di daerah sehingga menjadi buruh migran tidak lagi menjadi keharusan pilihan bagi warga yang ingin bekerja. Penciptaan peluang kerja merupakan poin penting yang harus dijadikan program bagi para petinggi daerah maupun para calon petinggi daerah yang akan bertarung dalam pilkada. Menciptakan peluang kerja tidak harus investasi asing, menemukan potensi-potensi yang ada di masyarakat dan mengembangkan potensi tersebut juga merupakan jalan penciptaan lapangan kerja yang menjadi 'PR' bagi pemerintah dalam program pembangunan. Menjelang hari buruh besok, 1 Mei, mungkin bisa menjadi momentum untuk memikirkan lagi soal perlindungan buruh migran dan soal pengangguran yang menjadi permasalahan yang tak kunjung usai.